Senin, 06 Mei 2019

Rukun Iman Berita ala Dahlan Iskan


Harus diakui, Dahlan Iskan adalah wartawan yang cerdas. Dia cerdas memilih angle, cerdas memilih kata, cerdas pula melibatkan emosi pembaca dalam tulisannya sehingga pembaca bisa tertawa, terharu, sedih, dan marah. Banyak orang yang menyenangi gaya penulisan Dahlan. Penuturannya, logis, mengalir, ringan, gampang dimengerti, mencerdaskan dan menghibur. Hal-hal yang berat, rumit dan teknis, tiba-tiba menjadi mudah dicerna dalam tulisan Dahlan.’’Yang lebih penting sebenarnya adalah what to say-nya, atau rukun iman beritanya,” kata Dahlan ketika ditanya soal gaya penulisannya tersebut.Kaget juga mendengar mendengar istilah  ’’rukun iman” ada dalam dunia jurnalistik. Apa sih itu?’’Rukun iman, bagi muslim adalah sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Apapun yang terjadi, harus dipegang teguh. Demikian pula dalam menulis karya jurnalistik. Ada yang harus dipegang teguh, tidak boleh ditinggalkan,” jelas Dahlan.Lalu, dia menjelaskan  ’’Rukun Iman’’ tersebut:’’Rukun pertama, tokoh. Semua peristiwa menyangkut tokoh layak berita. Misalnya Gubernur Jawa Timur masuk rumah sakit karena demam berdarah. Ini layak diberitakan,” jelas Dahlan.’’Rukun kedua, besar. Semua peristiwa yang besar layak berita. Misalnya, gempa bumi menyebabkan kerugian yang besar. Ini layak berita,” lanjutnya.

’’Ketiga, dekat. Semua peristiwa yang terjadi di dekat kita, meskipun kecil layak berita dibanding peristiwa serupa yang lebih besar tetapi di tempat yang jauh. Misal, gempa di Jember korbannya 10 orang lebih layak diberitakan, ketimbang gempa di Mexico yang menelan korban 100 orang. Kalau pun keduanya perlu diberitakan, gempa di Jember harus lebih besar dan lengkap,” tambah Dahlan.

“Keempat, yang pertama. Semua peristiwa yang baru pertama terjadi, layak berita. Misal, ada pencurian dengan modus baru yang baru pertama terjadi. Walau kerugiannya kecil, peristiwa itu layak berita,” kata Dahlan.

“Kelima, human interest. Semua peristiwa yang menyentuh perasaan kemanusiaan, layak diberitakan. Keenam, bermisi. Setiap berita harus memiliki misi atau tujuan. Misalnya, mencerdaskan, mendidik dan memotivasi masyarakat untuk kebaikan,” pesan Dahlan.

Menurut Dahlan, semua wartawan saat meliput peristiwa harus menemukan sebanyak mungkin rukun iman berita itu. Semakin banyak rukunnya, semakin layak beritanya. Demikian pula sebaliknya.Bila rukun iman beritanya sudah memenuhi syarat kelayakan, langkah selanjutnya adalah menulis beritanya.

Bagian IITape Recorder Haram, Mencatat MakruhMencari dan mengumpulkan informasi adalah sebuah persoalan. Menuliskan informasi menjadi berita adalah persoalan lain. Masing-masing membutuhkan ilmu dan keahlian yang berbeda.’’Bila mencari informasi menggunakan rukun iman berita, menulis berita menggunakan gaya penulisan,” jelas Dahlan Iskan, saat mengisi kelas jurnalistik untuk reporter baru Jawa Pos, beberapa tahun lalu.

Gaya penulisan adalah teknik merangkai kata-kata sehingga informasi yang disampaikan bisa dimengerti pembaca. Gaya penulisan itu, lanjut Dahlan, sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan.’ “Kalau membaca berita Kompas, rasanya penuh informasi berat dan ilmiah. Sedangkan membaca Jawa Pos, rasanya ringan-ringan dan ngepop. Itu karena gaya penulisannya,” jelas Dahlan.

Ada dua gaya penulisan berita menurut Dahlan.Gaya pertama adalah ’’memberitakan” dan gaya kedua adalah ’’menceritakan”.Gaya penulisan ’’memberitakan” cenderung kaku, to the point, dan kurang warna-warni. Contohnya: Akibat rem blong, sebuah bus jurusan Jogja – Semarang menabrak warung makan milik Haji Kartoseno, di Jalan Diponegoro, Ambarawa, kemarin siang. Sebanyak 3 penumpang dilaporkan tewas. Sepuluh lainnya luka berat dan ringan.Dalam gaya menceritakan, penulisan bebas berimprovisasi sehingga yang membaca lebih emosional. Misalnya: Braaaaak! Pria berpeci hitam itu baru memesan soto, ketika sebuah bus sekonyong-konyong menabrak warung makan di Jalan Diponegoro. Padahal, warung soto milik Haji Kartoseno itu, sedang ramai-ramainya. Pria berpeci hitam itu tewas sebelum menyantap hidangan makan siangnya. Dua tamu yang duduk di samping pria berpeci hitam itu juga meninggal seketika. Sementara itu, sepuluh tamu lainnya sempat menyelamatkan diri. Namun, mereka mengalami cedera berat dan ringan.Secara kultural, kata Dahlan, orang Indonesia lebih akrab dengan budaya cerita, ketimbang budaya membaca. Karena itu, gaya penulisan menceritakan juga disukai. Namun demikian, gaya memberitakan pun ada penggemarnya. Dua-duanya benar secara jurnalistik, secara budaya dan secara bisnis. Kita tinggal pilih mau yang mana,” jelas Dahlan.

Agar berita mudah dimengerti, Dahlan menyarankan agar wartawan atau penulis belajar menyusun kalimat demi kalimat, alinea demi alinea dengan logika bertutur yang baik.  “Jangan membuat kisah yang melompat-lompat. Itu membikin bingung pembaca dan redakturnya,” ujar Dahlan.

Sebuah berita juga harus memberi kenyamanan pembaca. Karena itu, kalimat sebaiknya tidak panjang-panjang. Bagaimana sih mengukur kalimat panjang atau pendek itu? Bacalah sebuah kalimat dalam berita koran apa saja. Bila napas Anda sudah habis tapi tanda titiknya belum ketemu, itu kepanjangan,” jawab Dahlan.

Langkah selanjutnya, gunakan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan sampai wartawan tidak bisa membedakan  ’’di’’ yang digandeng dan  ’’di’’ yang dipisah. Awalan  ’’di’’ selalu digandeng untuk kata kerja pasif. Sedang  ’’di’’ yang dipisah menunjukkan keterangan tempat. Perhatikan siapa yang akan membaca berita kita. Bila pembaca kita berpendidikan baik, maka buatlah berita yang tidak bombastis atau dilebih-lebihkan, biar kelihatan seru. Model berita ini hanya cocok untuk koran kuning atau koran berita kriminalitas. Demikian pula dalam pemilihan foto. Koran yang menyasar kelas menengah atas tidak suka dengan foto-foto vulgar dan sadis. “Ini lebih ke pemahaman wartawan terhadap psikologi pembacanya,” lanjut Dahlan.

Sebuah berita selalu diawali dengan sebuah kata atau kalimat yang disebut opening. Dahlan menyarankan agar wartawan atau penulis memulai dengan sesuatu yang menarik. “Teori jurnalistik lama mengajarkan kita agar memulai berita dengan sesuatu yang penting. Tapi pembaca ternyata lebih senang yang menarik,” kata Dahlan.

Menemukan unsur menarik dalam proses pencarian berita sangat sulit. Tapi Dahlan punya strategi unik; JANGAN bawa alat perekam, catatlah sesedikit mungkin. Selebihnya, gunakan kemampuan pikiran Anda untuk mengingat data. Jadi, merekam dengan tape recorder hukumnya haram. Mencatat hukumnya makruh.

Kebanyakan wartawan, memang menggunakan tape recorder untuk merekam pernyataan narasumber. Menurut Dahlan, cara ini tidak efisien dari sisi biaya dan waktu. Menggunakan tape recorder juga melemahkan kerja otak. Sebab, otak mempercayakan pada hasil rekaman itu sehingga wartawan tidak bisa mengeksplorasi sebuah pernyataan menarik yang muncul di tengah wawancara. Wartawan baru sadar setelah mendengarkan rekamannya di kantor. “Coba kalau tidak pakai tape recorder. Anda pasti mendengarkan pernyataan narasumber dan langsung mengejar bila ada statemen menarik di tengah wawancara. Itu salah satu fungsi istimewa otak kita. Karena sudah terekam di otak, maka seketika otak menganalisa rekaman. Mana yang menarik, mana yang penting akan langsung tahu. Begitu wawancara selesai, konsep beritanya pun sudah selesai di otak,” kata Dahlan.

Dahlan juga menyarankan agar sesedikit mungkin mencatat. Hanya hal-hal yang sangat rawan salah saja yang boleh dicatat. Tanggal dan tahun kelahiran narasumber, ejaan huruf nama dan pangkat narasumber, adalah yang boleh dicatat. Selebihnya, diingat-ingat saja,’’ kata Dahlan.

Kalau berita sudah selesai ditulis, Dahlan mengingatkan agar wartawan membaca seluruhnya, minimal sekali lagi. “Saat membaca, jadilah orang yang paling bodoh. Bila orang paling bodoh saja bisa paham, maka berita itu sudah bagus,” pungkas Dahlan. (HW/*)



0 komentar:

Posting Komentar